Tuesday, 16 July 2019
Wuxia Legend - Kwan Tak Hing (關德興)
Jika The Guiness Book of World Record punya catatan "Artis yang Paling Banyak Memerani Karakter yang Sama dalam Banyak Film", maka Kwan Tak Hing bisa menjadi Pemegang Rekor itu hingga hari ini. Karena dalam sejarah perfilman, dialah satu-satunya aktor yang memerani karakter Wong Fei Hung paling banyak. Tercatat ada 77 film tentang Pendekar dari Foshan tersebut yang diperani Kwan Tak Hing dari tahun 1940 - 1980an.
Kwan Tak Hing adalah salah satu aktor paling dihormati di Hong Kong. Sepanjang karirnya, dia telah bermain di lebih dari 130 film, yang mayoritas semuaya adalah film wuxia.
Lahir di Guangzhou, China, tahun 1905, Kwan Tak Hing adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ayahnya meninggal saat dia masih sangat belia. Karena itu, Kwan Kecil sudah harus berjuang keras demi bisa makan. Dia sudah harus bekerja di peternakan sapi di usia 6 tahun. Pada usia 12 tahun, dia sudah bekerja di proyek konstruksi. Di usia 13 tahun, dia bekerja sebagai pelayan restoran. Di usia yang sama, Kwan mengenai dunia hiburan saat diajak temannya bergabung di kelompok Opera Kanton di bawah arahan artis Opera Legendaris Cheng Hsin Pei.
Tahun 1928, di usia 23 tahun, Kwan menikah dengan Chen Ye Chau (陳日初), anak perempuan aktor Zha Jiao Sheng (扎腳勝). Pasca menikah itu, Kwan mengenal dunia film dan mulai mendapat kesempatan bermain film. Film pertamanya adalah The Singing Lovers. Film ini dibuat dan ditayangkan di Amerika Serikat, dan menjadi film kedua berbahasa Kanton yang ditayangkan di Negara Paman Sam tersebut.
Selanjutnya, Kwan mulai banyak terlibat bermain di film wuxia. Film wuxia pertamanya adalah Knight of the Whip (1936) yang sangat terkenal dan bahkan disukai Tentara Jepang saat mereka menjajah China saat Perang Dunia Kedua.
Usai Perang Dunia Kedua, Kwan mendapat kepercayaan untuk berperan sebagai Pendekar Legendaris Wong Fei Hung di film The Story of Huang Fei Hong Part 1 (1949) yang disutradarai Wu Pang dan diproduksi Yong Yao Film Company. Film ini meraih kesuksesan luar biasa, hingga dibuat sampai beberapa sekuel. Kwan pun terus ditunjuk untuk memerani karakter itu di semula sekuel film tersebut.
Antara tahun 1950 - 1970, film yang mengangkat cerita Pendekar Wong Fei Hung sangat populer Meski banyak studio film yang juga membuat film bertema sama, namun film-film yang diperani Kwan Tak Hing-lah yang selalu sukses. Bahkan pada tahun 1956, terdapat lebih dari 20 film yang diperani Kwan Tak Hing yang dirilis di bioskop nyaris bersamaan, dan hampir semua merupakan kisah petualangan Wong Fei Hung.
Tahun 1970, Kwan Tak Hing memutuskan untuk mundur dari dunia perfilman. Dia kemudian membuka sekolah bela-diri dan toko obat, di mana dia memproduksi salep cedera yang menggunakan merek namanya.
Masa pensiun Kwan ternyata tidak lama. Pada tahun 1974, Kwan tergerak untuk turun ke dunia akting lagi. Meski saat itu usianya sudah menginjak 70 tahun, namun dia tetap menerima tawaran bermain di film eksyen. Beberapa di antaranya adalah The Skyhawk (1974) dan Magnificent Butcher (1979) bareng Sammo Hung, Magnificent Kick (1980), dan Drednaught (1981).
Dreadnaught menjadi film eksyen terakhir Kwan Tak Hing di mana dia berperan sebagai Wong Fei Hung. Dengan demikian, maka total film Wong Fei Hung yang diperani Kwan Tak Hing adalah 77 seri.
Karena banyak bermain sebagai Wong Fei Hung, penonton Hong Kong sering menganggap Kwan sebagai Wong Fei Hung, dan tidak ada orang yang bisa menggantikan Kwan memerani karakter tersebut. Hal ini terjadi pada Jackie Chan dan Jet Li yang juga pernah berperan sebagai Wong Fei Hung tapi dianggap penonton "terlalu muda" untuk memerani karakter tersebut.
Kwan Tak Hing masih terus menggeluti dunia film dengan bermain di film-film drama-komedi hingga tahun 1994.Pada tanggal 28 Juni 1996, Kwan meninggal di Hong Kong dalam usia 91 tahun.
DO YOU KNOW?
Meski terlihat sangat menguasai ilmu bela-diri, Kwan Tak Hing sendiri tidak punya latar-belakang ilmu bela diri. Kemampuan bela-diri diperolehnya saat bergabung sebagai anggota Opera Martial Arts pimpinan Sun Pak, Cheng Hsin Pei, dan Len Yuen.
Pada tahun 1951, Kwan berkenalan dengan Leung Wing Hang dan Lau Jam, dua orang murid Lam Sai Wing. Lam Sai Wing sendiri adalah murid dari Wong Fei Hung asli. Dari perkenalan itu, Kwan mendapatkan pengetahuan beladiri Hung Gar (ilmu kreasi Wong Fei Hung) yang kemudian digunakannya dalam setiap seri film Wong Fei Hung yang diperaninya.
Labels:
2019,
china,
drama,
hong kong,
jepang,
kwan tak hing,
opera,
seri,
wong fei hung
Friday, 5 April 2019
Heroes of the East (中華丈夫, 1978)
Di era 1980an, film bertema Ninja sedang jadi tren, pasca kesuksesan film Enter the Ninja (1981) yang diperani Franco Nero. Film Hollywood yang diperani Menahem Golan ini mengisahkan tentang tentara Amerika yang berlatih ilmu ninja. Ini menjadi film Hollywood pertama yang mengangkat tema Ninja dan memunculkan tren film Ninja di seluruh dunia. Tidak hanya Hollywood, banyak negara juga membuat film bertema "Pendekat dan beladiri Jepang" tersebut.
Hong Kong pun tidak ketinggalan dan membuat film Ninja, baik bersetting masa modern maupun jaman dulu.
Meski mencuat dari Hollywood, genre Ninja ini sebenarnya pertama kali ditampilkan oleh film Hong Kong.
Film Heroes of the East adalah film pertama yang menggabungkan budaya China dan Jepang ke dalam film. Di film inilah budaya Jepang, termasuk ilmu Ninjitsu pertama kali diangkat ke publik. Meski para pendekar bertopeng dan berpakaian hitam khas Ninja tidak dimunculkan secara eksplisit di sini (hanya karakter berpakaian hitam tanpa topeng saja), namun film ini sudah cukup banyak menjelaskan karakter Ninja, termasuk jurus-jurus dan senjata yang mereka gunakan.
Bersetting tahun 1930 di Shanghai, film Heroes of the East yang disutradarai Lau Kar Leung ini mengisahkan tentang seorang murid sekolah kungfu bernama Ho Tao (Gordon Liu) yang dijodohkan orang tuanya pada seorang gadis, yang merupakan anak dari rekan bisnis orang tua Ho Tao. Masalahnya Ho Tao sendiri belum pernah bertemu gadis itu, sehingga dia menolak perjodohan itu.
Namun setelah melihat wajah sang gadis, Ho Tao pun terkesan oleh kecantikannya dan setuju menikahinya. Gadis itu - yang kemudian dikenal bernama Yumiko Koda (Yuka Mizuno) - akhirnya menikah dengan Ho Tao.
Di malam pertama mereka, Ho Tao baru mengetahui kalau Yumiko ternyata memiliki kemampuan beladiri Karate. Ho Tao kemudian menjajaki ilmu bela diri istrinya tersebut. Rupanya teknik karate yang dimiliki Yumiko sangat kejam dan sadis. Beberapa gerakannya bukan gaya karate yang pernah dikenal Ho Tao. Menyadari kemampuan beladiri Yumiko yang sangat kejam, Ho Tao menyarankan Yumiko untuk berlatih kungfu yang lebih tenang. Namun Yumiko salah paham dan mengira Ho Tao menghina ilmu beladiri Jepang. Karena itu dia memutuskan untuk meninggalkan Ho Tao.
Ho Tao dan orang tuanya bergegas ke Jepang untuk meminta maaf serta meminta Yumiko kembali ke Shanghai. Di Jepang, ayah Ho Tao segera mengetahui kalau Yumiko ternyata dilatih ilmu beladiri oleh Sensei Takeno (Yasuaki Kurata), yang tidak lain adalah teman sepermainan ayah Ho Tao di masa kecil. Takeno tidak saja memiliki kemampuan luar biasa dalam bela diri Karate, tetapi juga sangat menguasai teknik beladiri purba Jepang yang dikenal dengan sebutan "Ninjitsu". Teknik beladiri ini sangat berbahaya dan mematikan, sehingga ayah Ho Tao memilih menjauhi Takeno daripada harus berhadapan dengannya.
Demi membujuk Yumiko pulang, Ho Tao kemudian mengirimkan kepada Yumiko. Dalam surat itu, Ho Tao mengatakan bahwa ilmu beladiri Jepang dan China memiliki akar yang sama sehingga tidak perlu diperdebatkan mana yang paling kuat.
Surat itu rupanya terbaca oleh Takeno, yang merasa tersinggung ilmunya disejajarkan dengan ilmu beladiri China. Bahkan surat Ho Tao dianggap sebagai sebuah tantangan bagi perguruan beladiri Jepang, sehingga Takeno menyatakan tantangannya pada Ho Tao dan berangkat ke China.
Duel maut pun terjadi antara Perguruan Takeno dan Perguruan ayah Ho Tao.
DO YOU KNOW?
Meski tidak menampilkan sosok Ninja seperti yang kita ketahui selama ini (mengenakan topeng dan berpakaian serba hitam), namun film ini banyak menampilkan teknik beladiri Ninjitsu, yang merupakan ilmu dari para Ninja. Beberapa jenis ilmu Ninjitsu yang diperagakan di film ini adalah Hensojutsu (変装術) atau Shichi Ho De (七方出) yang merupakan Jurus Menyamar khas Ninja, dan Shinobi Iri atau Jurus Menghilang. Selain itu film ini pun menampilkan beberapa senjata khas Ninja seperti Shuriken (手裏剣) atau senjata lempar berbentuk bintang, Kusarigama yang merupakan pisau berujung kait yang disambung dengan rantai, dan Ninjaken (忍者剣) atau Pedang Ninja.
Shuriken |
Kusarigama |
Ninjaken |
Tonfa |
Yari |
Meski menampilkan pertarungan mati-matian antara Perguruan Jepang dan China, film ini sama sekali tidak menampilkan ada petarung yang tewas. Penggambaran ini terbilang tidak umum di film wuxia, dan hal ini memang disengaja, karena dalam film ini Sutradara Lau Kar Leung ingin menampilkan keragaman budaya negara Jepang yang memiliki beberapa kesamaan kultur dengan China. Jadi pertarungan yang ditampilkan hanyalah "pertarungan persahabatan" tanpa berniat saling memusuhi.
Saat dirilis secara internasional, film ini menggunaan beberapa judul, yaitu : Challenge of the Ninja, Shaolin vs Ninja, dan Shaolin Challenges Ninja.
Untuk peredaran internasional, film ini didistrubusikan oleh Celestial Pictures dan Dragon Pictures (khusus di Amerika Selatan).
Friday, 29 March 2019
Legenda Nunchaku / Xuang Jie Gun (双截棍)
Bagi penggemar film kungfu, tentu tidak asing dengan senjata bernama 双截棍(Xuang Jie Gun, atau dalam bahasa Indonesia disebut Ruyung). Senjata ini disebut juga Double Stick, Nunchucks, atau Nunchaku. Ya, senjata ini sangat populer hingga hari ini, dan menjadi senjata legendaris yang sangat melekat erat dengan Bruce Lee.
Bruce Lee adalah orang pertama yang menggunakan dan mempopulerkan senjata ini. Dia pertama kali menggunakannya di film Enter The Dragon (龍爭虎鬥, 1973). Senjata ini menjadi makin terkenal setelah digunakan kembali di film terakhir Bruce Lee (Game of Death,死亡遊戲) yang dirilis tahun 1978, lima tahun setelah kematian Bruce Lee. Di film itu, Bruce Lee mengenakan pakaian olah raga terusan warna kuning menggunakan nunchaku dengan warna yang senada dengan pakaiannya, kemudian memainkan senjata itu dengan gerakan yang sangat dramatis. Adegan ini menjadi sangat fenomenal dan banyak ditiru banyak orang hingga hari ini.
Sejak itulah, Nunchaku menjadi salah satu senjata maut yang sering digunakan dalam berbagai film bergenre beladiri, baik wuxia maupun kungfu. Bahkan hingga hari ini pun masih banyak film yang menampilkan penggunaan senjata tersebut.
KAPAN & SIAPA PENCIPTA NUNCHAKU?
Tidak ada catatan jelas siapa pencipta dan kapan Nunchaku diciptakan. Hanya saja dari catatan yang ditemukan, senjata yang terdiri dari dua batang kayu yang disambung dengan rantai atau tali pendek ini diyakini merupakan senjata tradisional masyarakat Okinawa. Meski kini merupakan bagian dari wilayah Jepang, tetapi masyarakat Okinawa memiliki bahasa dan budaya sendiri yang sedikit berbeda dengan Jepang. Kebanyakan tulisan Okinawa menggunakan huruf Katakana dan kebanyakan tulisan diadaptasi dalam bahasa asing.
Nama "Nunchaku" merupakan adaptasi dari tulisan huruf Mandarin Xuang Jie Gun (双截棍) dan dilafalkan menjadi "nu-n-cha-ku" (ヌンチャク). Awalnya, fungsi Nunchaku bukanlah senjata tetapi peralatan untuk bertani. Sempat digunakan sebagai senjata, namun kemudian tidak pernah dipakai lagi karena fungsinya yang sangat tidak efektif untuk menghadapi musuh, terutama jika musuh menggunakan senjata bergagang panjang seperti tombak dan toya.
Meski beberapa kali dianggap sebagai peralatan bela-diri, tetapi Nunchaku belum dikenal masyarakat luas. Hingga satu ketika, Dan Inosanto - pelatih beladiri asal Filipina - berlatih ilmu bela diri di Okinawa dan menemukan senjata itu. Ketika dia diundang Bruce Lee untuk menjadi pelatih di Institut Pendidikan Beladiri Jun Fan Gung Fu (milik Bruce Lee), Dan Inosanto memperkenalkan senjata tersebut pada sang maestro kungfu tersebut.
Dalam film dokumenter I Am Bruce Lee (2012) yang disutradarai Pete McCormack, Inosanto menjelaskan kalau dia tidak saja memperkenalkan senjata, tetapi juga mengajari Bruce Lee dasar-dasar penggunaan Nunchaku. Bruce Lee kemudian mengembangkan jurus Nunchaku menjadi teknik yang lebih rumit. Bruce Lee kemudian menampilkan Nunchaku pertama kali di film Enter the Dragon. Setelah film itu sukses, Bruce Lee kembali menggunakan Nunchaku di film terakhirnya, The Game of Death. Di film itulah, Nunchaku mendapatkan perhatian dunia dan diperlakukan sebagai salah satu senjata bela-diri.
Selain diakui sebagai senjata bela-diri, Nunchaku pun sudah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Hal ini terlihat dari banyaknya organisasi dan komunitas Nunchaku yang didirikan di seluruh dunia. Beberapa di antaranya yang populer adalah North American Nunchaku Association, World Amateur Nunchaku Organization, Federation Internationale de Nunchaku de Combat et Artistiqu, dan World Nunchaku Organization.
Wednesday, 27 March 2019
Opium and the Kung Fu Master (洪拳大師, 1984)
Masa 1980-an merupakan masa tersulit yang dialami Shaw Brothers. Sebagai perusahaan film terbesar di Hong Kong yang banyak menelurkan film-film wuxia berkualitas sejak tahun 1960an, Shaw Brothers mengalami persaingan sangat ketat dari banyak perusahaan film Hong Kong baru. Salah satu yang terkuat adalah Golden Harvest. Sejak film produksi perdana mereka - Enter the Dragon (1973) - sukses secara internasional (dan mengangkat nama Bruce Lee sebagai aktor dunia), perlahan tapi pasti film bergenre wuxia mulai ditinggalkan penontonnya.
Meski Shaw Brothers melakukan berbagai terobosan dalam menyajikan produksi film mereka, namun jumlah penonton terus berkurang, dan Shaw Brothers makin ditinggalkan penontonnya. Puncaknya, pada tahun 1986, praktis penonton film wuxia telah beralih pada film-film eksyen beladiri Hong Kong modern. Kenyataan inilah yang kemudian menjadi alasan Shaw Brothers memutuskan "tutup usia" di tahun itu.
Menjelang penghentian produksi di tahun 1986, Shaw Brothers banyak menelurkan film-film wuxia keren, yang kini banyak dicari orang. Salah satu film produksi lawas mereka yang belakangan ini disukai banyak orang adalah film Opium and the Kung Fu Master (a.k.a Fists of Shaolin, 洪拳大師). Film arahan sutradara Tang Chia ini merupakan salah satu film wuxia terbaik Shaw Brothers yang dirilis tahun 1984.
Film ini diperani Ti Lung, Cheng Kuan Tai, Robert Mak, Leanne Liu, Philip Ko, Koo Koon Chung, Alan Chan, Lee Hoi Sang, Yue Tau Wan, Chan Shen, Yuen Wah, dan Elvis Tsui.
Opium and the Kung Fu Master mengangkat kisah fiksi tentang Leung Kwan, salah seorang pendekar tersohor dari Guangdong yang dikenal dengan julukan "Si Jembatan Besi Tiga" (Tie Qiau San). Dia pun terkenal sebagai Guru Besar Jurus Hong (Hong Ga / Hong Cia,洪家) dan merupakan salah satu Pendekar kelompok 10 Harimau Guangdong (10 Tigers of Canton,廣東十虎).
Di film ini, dikisahkan Leung Kwan / Tie Qiao San (Ti Lung) ditunjuk oleh Kaisar untuk menjadi pelatih Tentara China. Pada masa itu, banyak masyarakat yang terbius oleh opium. Tidak terkecuali Tie Qiao San yang ikut-ikutan mengisap opium setelah diajak oleh para pejabat pemerintah. Akibatnya, kemampuan beladiri Tie Qiao San melemah.
Hal ini dimanfaatkan Rong Feng (Chen Kuan Tai) - pemilik rumah opium - untuk menjatuhkan Tie Qiao San dan menjadikannya Pendekar Terhebat di Guang Dong. Rong Feng membuat tantangan terbuka dengan Tie Qiao San. Tantangan itu diterima dan mereka pun berduel. Sayang, akibat pengaruh opium, Tie Qiao San nyaris tewas di tangan Rong Feng. Beruntung Lu Gua Si (Robert Mak) - murid Tie Qiao San - menyelamatkan gurunya. Sayang, nasib naas tidak terhindarkan. Lu Gua Si tewas di tangan Rong Feng.
Pasca diselamatkan muridnya, Tie Qiao San bersembunyi di sebuah desa terpencil. Di sana dia mengobati dirinya sendiri dari kecanduan opium, sambil berlatih kembali, mengumpulkan kemampuannya yang dulu. Setelah siap, Tie Qiao San pun kembali ke kota untuk membalaskan dendam kematian muridnya.
Bagian yang paling seru dan menarik dari film ini - tentu saja - duel maut antara Ti Lung dan Chen Kuan Tai. Seperti yang kita ketahui, kedua aktor itu adalah aktor laga yang sangat terkenal di masa itu. Dan biasanya, jika dua aktor laga dipertemukan dalam satu film untuk saling bertarung, maka akan menarik penonton untuk menonton film tersebut. Hal ini pernah terjadi di film Heroes Two (方世玉與洪熙官, 1974) saat Chen Kuan Tai dipertemukan dan bertarung dengan Alexander Fu Sheng di film tersebut. Film tersebut menjadi salah satu film laris produksi Shaw Brothers dan menjadi salah satu film wuxia klasik hingga hari ini.
Opium and the Kung Fu Master juga merupakan salah satu film wuxia klasik yang sangat collectible. Tidak saja karena alur ceritanya yang menarik dan koreografi pertarungannya yang keren, Opium anf the Kung Fu Master merupakan salah satu catatan sejarah terakhir kejayaan Shaw Brother, yang pernah menjadi produsen film wuxia Hong Kong terbesar di masa lalu. Meski kini Shaw Brother telah bangkit kembali dan menjadi perusahaan baru bernama Shaw Brothers (dengan tambahan "s" di belakang "Brother"), namun belum ada filmnya yang menjadi klasik dan memorabel seperti film-film masa lalu.
Labels:
2019,
bandung,
chen kuan tai,
dasyat,
film,
hong kong,
indonesia,
keren,
klasik,
pemilu,
suara indah,
terakhir,
ti lung,
wuxia
Monday, 18 February 2019
The Kingdom and the Beauty (江山美人, 1959)
Bicara tentang film bergenre opera Huang Mei, kita ga bisa mengacuhkan film legendaris The Kingdom and the Beauty (江山美人 - Jiang Shan Mei Ren). Film drama-musikal produksi Shaw Brothers dan garapan sutradara Li Han Hsiang ini merupakan film klasik yang banyak disukai para penonton di era 1960-an.
Film ini sempat terdaftar sebagai salah satu film asing calon peraih penghargaan Oscar di Ajang Academy Award tahun 1960, meski akhirnya tidak terpilih menjadi kandidat.
Pada tahun 2005 silam, film ini masuk dalam urutan ke-47 daftar "Best 100 Chinese Motion Pictures" yang dirilis oleh Hong Kong Film Awards. Film ini pun memenangi Best Picture di ajang Asia-Pacific Film Festival. Berkat film ini pula, nama Sutradara Li Han Hsiang dikenal sebagai Sutradara Spesialis Film Bergenre Opera Huang Mei.Genre ini sendiri menjadi salah satu genre film Hong Kong yang cukup populer di era 1960an.
Film The Kingdom and the Beauty sendiri sebenarnya merupakan cerita yang cukup kontroversial karena mengangkat tema kisah cinta Kaisar dengan rakyat jelata, yang kala itu sangat tidak umum di masyarakat Asia. Maklum, di masa ini strata sosial masih menjadi persoalan bagi masyarakat modern di kawasan Asia Tenggara (termasuk di Indonesia). Jadi mengangkat tema demikian, jelas merupakan tantangan tersendiri karena akan sangat sulit untuk diterima. Namun untungnya film ini mendapat sambutan yang sangat positif dari penonton, dan kini menjadi legenda.
The Kingdom and the Beauty mengisahkan Kaisar Muda Chu Te Cheng (Chao Lei) adalah Kaisar yang baru mendapat mandat untuk memegang tampuk kerajaan. Namun mengurusi pemerintahan terasa sangat melelahkan dan menjadi rutinitas yang sangat membosankan. Satu ketika, Kaisar Chu mendengar cerita dari Gurunya tentang keindahan Kota Jiang Nan. Cerita itu mendorong Kaisar Chu untuk melakukan perjalanan ke kota itu sendirian dengan menyamar sebagai rakyat jelata.
Saat tiba di Kota Jiang Nan, Kaisar Chu berjumpa dengan seorang gadis cantik bernama Ta Feng (Linda Lin Dai) di Parade Putri Langit. Kecantikan Ta Feng membuat Kaisar Chu jatuh hati. Setali-tiga uang, ternyata Ta Feng pun memendam rasa cinta yang mendalam pada Kaisar Chu. Jainan cinta itu membuat Kaisar Chu memutuskan untuk tinggal di Kota Jiang Nan dan melepaskan kebangsawanannya.
Sayang, kisah cinta mereka harus terbentur norma masyarakat masa itu, di mana Kaisar tidak bisa menjalin hubungan asmara dengan rakyat jelata. Bahkan ketika Keluarga Kaisar Chu tahu kalau Kaisar telah berhubungan terlalu jauh dengan Ta Feng, mereka mengambil tindakan dengan memaksa Kaisar Chu pulang ke kerajaan dan melupakan Ta Feng.
Ketika harus memilih, apa yang akan dipilih Kaisar Chu : Kursi Kerajaan atau cinta?
The Kingdom and the Beauty merupakan film pertama yang mengangkat tema cinta beda strata sosial dan ekonomi, yang kemudian menjadi tren dan diikuti oleh film-film lain hingga hari ini. Tema ini merupakan "cibiran" bagi masyarakat Tiongkok di masa lalu (juga di masa kini) yang sering memandang orang berdasarkan strata sosial (orang kaya hanya ingin bergaul dengan orang kaya). Akibatnya terjadi jurang pemisah antara Si Kaya dan Si Miskin.
Lewat film ini, kita diingatkan kembali bahwa pada dasarnya semua manusia sederajat. Kekayaan hanyalah titipan Tuhan. Hendaklah yang kaya membantu yang miskin, dan yang miskin mendukung yang kaya.
DO YOU KNOW?
Tahun 2008 silam ada film berjudul And Empress and the Warrior (江山美人) yang disutradarai Cheng Siu Tung, dengan diperani Kelly Chen, Donnie Yen, dan Leon Lai.
Meski judul Mandarinnya sama, tetapi alur cerita film ini sama sekali berbeda jauh dengan film The Kingdom and the Beauty. Film ini mengisahkan tentang perang yang terjadi antara Kerajaan Zhao dan Kerajaan Yan, di mana Kaisar Kerajaan Yan baru mangkat, sehingga anak perempuannya - Putri Yan Fei Er (Kelly Chen) - diangkat sebagai pengganti sang Kaisar. Untuk melawan Kerajaan Zhao, Putri Fei Er kemudian mengangkat Jendral Mu Rong Xue Hu (Donnie Yen) untuk membantunya.
Rupanya diam-diam keponakan Kaisar - Pangeran Yan Hu Ba (Guo Xiao Dong) - berencana menguasai kerajaan, sehingga membuat konspirasi untuk membunuh Putri Fei Er.
Meski film eksyen berudurasi 99 menit ini dipenuhi aksi perang dan pertarungan yang cukup menarik, tetapi - sekali lagi - film ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan cerita The Kingdom and the Beauty.
Saturday, 12 January 2019
The 36th Chamber of Shaolin (少林三十六房, 1978)
Tema kungfu Shaolin adalah salah satu tema film wuxia yang cukup populer di akhir dekade 1960an hingga awal tahun 1980an. Dan salah satu film wuxia bertema kungfu Shaolin yang sangat legendaris adalah The 36th Chamber of Shaolin (少林三十六房 - Shaolin San Shi Liu Fang).
Film ini dirilis pada tahun 1978, dengan sutradara Liu Chia Liang dan diperani oleh Gordon Liu (刘家辉 - Liu Cia Hui). Berkat film inilah, nama aktor Gordon Liu menjadi sangat terkenal, sehingga dia sering mendapat peran sebagai pendekar Shaolin atau pendekar lain, dengan ciri khas kepala plontos.
Selain Gordon Lau, film ini juga didukung oleh aktor papan atas Lo Lieh, Wang Yu, Yu Yang, dan Hoi Sang Lee.
Alur cerita film ini sendiri mengangkat kisah hidup San Te, seorang pendekar Legendaris dari Shaolin yang sangat terkenal di masa Dinasti Qing. Ceritanya sendiri tidak merupakan kisah hidup nyata San Te, melainkan versi fiksinya.
The 36th Chamber of Shaolin bertutur tentang seorang pemuda bernama Liu Yi De (Gordon Lau) yang terlibat dalam aksi menentang pemerintahan Manchu. Pemerintah mengutus Jendral Tien Ta (Lo Lieh) untuk menghentikan aksi tersebut. Dan dengan sangat kejam, Jendral Tien Ta membantai para demonstran penentang Pemerintah. Tidak hanya sampai di sana, Jendral Tien Ta pun menghabisi semua anggota keluarga dan teman-teman dari demonstran.
Yu De merupakan salah satu korban yang selamat. Saat dikejar pasukan Jendral Tien Ta, dia berhasil melarikan diri dan meminta perlindungan Biara Shaolin.
Awalnya para biarawan Shaolin menolak menerima Yu De karena dia adalah orang luar Shaolin. Namun berkat kebaikan hati Pemimpin Biara, Yu De akhirnya diizinkan tinggal di Shaolin. Di sana, Yu De kemudian belajar Ajaran Buddha dan akhirnya memutuskan untuk menjadi Biarawan.
Setahun kemudian, Yu De telah berganti nama menjadi San Te dan mulai menerima pelatihan ilmu bela diri Shaolin. Dalam pelatihan itu, Yu De diwajibkan mengikuti pelatihan di 35 ruang Shaolin, di mana masing-masing ruang mengajarkan ilmu beladiri yang berbeda seperti Ruang Kekuatan Lengan mengajarkan teknik menguatkan lengan, Ruang Senjata mengajarkan teknik penggunaan berbagai jenis senjata, dan lain-lain.
San Te memiliki kemampuan yang sangat luar biasa dalam menyerap semua ilmu Shaolin. Dalam waktu setahun, dia mampu menguasai ilmu yang biasanya baru bisa dikuasai orang lain setelah berlatih selama 6 tahun. Kemampuannya ini membuatnya tidak disukai banyak murid Shaolin sehingga dia sering ditantang berduel. Setiap kali duel - terutama duel menggunakan senjata - San Te pasti kalah.
San Te kemudian menciptakan senjata ruyung bertongkat tiga (三節棍 - San jie Gun) dan menggunakan senjata itu untuk menghadapi duel bersenjata. Ternyata Ruyung tersebut mampu mengalahkan senjata-senjata yang digunakan oleh para murid Shaolin.
Berkat kemampuannya itu, San Te mendapat restu dari Pemimpin Shaolin untuk membuat sebuah Ruang Latihan baru (yang dikenal dengan Ruang ke-36) yang digunakan San Te untuk melatih jurus-jurus dasar kungfu kepada orang-orang biasa agar mereka mampu melindungi diri mereka sendiri dari perlakuan tidak adil orang-orang yang berkuasa.
San Te kemudian kembali ke kampung halamannya untuk mengajak penduduk kotanya menjadi murid untuk Ruang ke-36 tersebut. Di antara semua penduduk desa itu ada Lu A-Cai (陸阿采) dan Liang Kun (梁坤), yang kelak menjadi murid San Te. Nantinya kedua orang tersebut menjadi Pendekar luar biasa dan dikenal sebagai 2 pendekar terhebat dari Kwang Tung serta dianggap sebagai salah satu dari kelompok 10 Harimau dari Guang Dong (廣東十虎 - Guang Dong She Hu / Ten Tigers of Guangdong).
Selain itu, dia harus berhadapan dengan Jendral Tien Ta yang masih mengincar dirinya. Di akhir cerita, terjadilah duel maul antara San Te dan Jendral Tien Ta yang pada akhirnya dimenangkan oleh San Te.
Saat dirilis, The 36th Chamber of Shaolin menjadi salah satu film box-office yang mendapatkan respon yang sangat luar biasa dari para penonton. Tidak saja penonton Hong Kong, tetapi juga penggemar film wuxia di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Film ini dianggap sebagai salah satu film Kungfu terbaik sepanjang sejarah dan telah menjadi inspirasi untuk film-film kungfu bertema kungfu Shaolin di era 1980an.
Atas kesuksesan film ini, kemudian dibuat sekuelnya berjudul Return to the 36th Chamber dan Disciples of the 36th Chamber, di mana keduanya dirilis nyaris bersamaan di tahun 1980. Meski mengusung judul "36th Chamber", film ini menampilkan cerita yang sangat berbeda dan lebih komedi.
DO YOU KNOW?
Film ini menginspirasi grup band hip-hop Amerika Serikat Wu Tang Clan untuk memberi judul album debut mereka : Enter the Wu-Tang (36 Chambers) yang dirilis tahun 1993. Album bergenre hardcore hip-hop tersebut menjadi salah satu album hip-hop sukses di masa itu dan sangat mempengaruhi musik hip-hop modern di masa itu.
Gordon Liu |
Jauh sebelum memerani film The 36th Chamber of Shaolin, Gordon Lau sudah memulai karirnya bermain film sejak tahun 1974. Film pertama yang diperaninya adalah 5 Shaolin Masters (1974). Film tersebut disutradarai Chang Cheh dan diperani aktor-aktor kawakan Shaw Brothers masa itu : David Chiang, Ti Lung, Alexander Fu Sheng, Chi Kuan Chun, dan Wang Lung Wei. Meski film tersebut sukses, namun namanya belum diperhitungkan dan kalah populer dengan para aktor utama yang bermain di film tersebut. Meski sangat aktif bermain film antara tahun 1974 - 1977, namun namanya tetap belum diperhitungkan oleh penonton film Hong Kong. Barulah di film The 36th Chamber of Shaolin (1978), Gordon Lau mendapatkan perhatian dari para penonton dan meraih kesuksesan. Hingga hari ini, Gordon Lau masih sangat aktif bermain film dan masih sering tampil dengan gaya kepala plontos yang sudah kadung menjadi ciri-khasnya sejak film The 36th Chamber of Shaolin.
Labels:
1980,
2019,
36th chamber,
box office,
google,
gordon,
jokowi,
kungfu,
kungfu master,
shaolin,
wuxia
Subscribe to:
Posts (Atom)